Sabtu, 21 Mei 2011

MORAL REALIGI DAN MORAL SKULER DALAM KENYATAAN



ilmu bukan disimpan melainkan untuk dibagi




Sebelum membaca atau melkukan aktipitas tanamkan budaya membaca kalimat
ﺒِﺴْﻡﭐﷲِﭐﻠﺭﱠﺤْﻤﹶٰﻥﭐﻠﺭﱠﺣِﻴﻡ
MORAL REALIGI DAN MORAL SKULER DALAM KENYATAAN

Apa yang dianggap sebagai filsafat oleh filosof-filosof Yunani kuno seperti Pythagores, Socrates atau Plato-menurut ahli sejarah filsafat Yunani Pierre Hadot (1995)-tidaklah pernah terlepas dari suatu perilaku tapa brata (ascetism). Di kemudian hari, pada zaman im­perial Yunani, dan melalui pengaruh kristianisasi pada zaman pertengahan di Eropa, perilaku ascetismnya semakin tidak berarti lagi. Louis Dumont mencatat bahwa mulai pada masa Santo Agustinus, rasa iman pada diri sendiri harus melalui rasionalitas, tidak bertumpu pada perasaan.
Rasionalisasi agama kemudian berimbas pada formalisasi keberagamaan secara universal. Di satu pihak kita menemukan bahwa seorang penganut agama formal: agama Kristen, semakin bisa berhubungan secara langsung dengan Tuhannya tanpa melewati suatu sistem ritus masyarakat. Di pihak lain— melalui rasionalisasi dari ajaran dan implikasi yang semakin erat antara Gereja dan kekuasaan duniawi—hubungan tersebut semakin bersifat moral, yaitu semakin terarah ke suatu pengertian normatif (yang belum tentu rasional dalam arti sebenarnya) daripada suatu pengertian perasaan. Secara singkat, menjauhnya ajaran agama dari pengertian rasa tersebut menjadi semakin dalam melalui proses revolusi anti ‘orde lama’ (monarki/kerajaan), dan melalui pengutamaan pada ilmu-ilmu modern.
Hal ini tentunya berbeda dengan ajaran Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu atau agama-agama lain yang masih murni. Di mana semua agama tersebut menganjurkan bagi para penganutnya untuk berhubungan dengan Tuhan harus melewati ritus-ritus sosial masyarakatnya. Oleh karena agama Kristen adalah agama yang sudah terlebih dahulu terkoyak-koyak oleh system kapitalis imperialis (kaper) dan terbukti sangat menguntungkan bagi segelintir borjuis eropa. Maka intervensi-intervensi agama kemudian rutin merka jalan keseluruh penjuru dunia.
Celakanya, ruh-ruh Islam yang bertumpu pada penguatan masyarakat ini diintervensi oleh kekuatan kaper dengan begitu rumitnya. Nilai-nilai perubahan paradigma bangsa kaper ini kemudian dibuang secara sistematis ke Negara-negara berkembang, terutama Negara yang masih kuat memegang tradisinya seperti Indonesia, tujuannya hanyalah untuk mencairkan masyarakatnya sehingga mudah ditaklukkan dan dimaling sumber daya alamnya. Oleh karena masyarakat Indonesia sebagian besar menganut agama Islam, maka bangsa kaper ini kemudian membentuk duta-duta penyebar virus yang akan merontokkan sendi-sendi tradisi yang terdiri dari orang-orang Islam pula. Tentu saja mereka yang menjadi duta ini adalah orang-orang yang sangat beruntung dalam ekonomi bila dibandingkan dengan tetangganya, dan biasanya jumlah mereka sangat kecil. Perekrutan duta-duta ini dilakukan secara rapi dan sistematis sekali, sampai-sampai para duta ini tidak sadar kalau mereka dijadikan alat penghancur budaya mereka sendiri.
Virus-virus pengetahuan bangsa kaper ini kemudian dikemas sedemikian rupa, baik dalam sistem pendidikan maupun konten (isi) pendidikan itu sendiri dengan terlalu mengunggulkan (ilmu) akal seraya menghakimi (ilmu) rasa. Sehingga, rasa iman pada diri sendiri harus melalui rasionalitas, tidak bertumpu pada perasaan. Proses rasionalisasi agama secara koplak ini dapat berjalan lancar atas bantuan segelintir elite pribumi yang terlebih dahulu telah dihanyutkan oleh wacana kebarat-baratan.
Jika kita mau meneliti lebih jauh dalam lagi, proses ini berakar juga pada zaman Romawi di Eropa (yaitu sebelum Masehi), dan berlangsung selama delapan belas abad lebih sampai revolusi Perancis (1789). Selama periode itu, jatuh korban tidak terhitung jumlahnya sampai ajaran agama terpisah secara resmi dari ajaran sekuler pada awal abad kedua puluh ini.
Dalam konteks sekuler ini, terjadi pemisahan yang radikal antara kelakuan dan pikiran. Dalam pemisahan itu, orang menemukan kesulitan yang semakin rumit dalam mewujudkan tingkah laku yang sesuai dengan buah pikirannya. Kesulitan ini disebabkan oleh tertutupnya kesadaran mengenai unsur rasa, karena rasa tidak diungkapkan lagi. Keterlibatan rasa dalam aksi tidak pula dipentingkan. Akibat langsung dari hal ini adalah tidak jelasnya kedudukan dari pikiran sebagai suatu kemampuan, karena pikiran terpisah dari aksi/ tingkah laku. Pikiran tidak dianggap lagi sebagai suatu kelakuan. Orang pun mulai percaya bahwa mereka bisa mendapatkan sesuatu yang murni, terlepas dari pengaruh-­pengaruh lain, dan menghasilkan suatu pengetahuan yang dianggap ‘suci’ oleh penganutnya. Pengetahuan itulah yang kemudian dinamakan pengetahuan ilmiah.
Sekalipun begitu, kita tidak boleh berkesimpulan bahwa akal sama sekali tidak ada gunanya. Kesimpulan seperti itu adalah kesimpulan orang-orang bodoh dan sama menyesatkannya seperti yang dilakukan oleh bangsa kaper dan para penganutnya. Mereka (JIL dan sejenisnya) telah tertipu dalam sesat fikir, ketika mereka memikirkan agama dan masyarakat, mereka mengira telah memikrikan agama dan masyarakat tersebut, padahal yang mereka lakukan, tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah memikirkan fikiran mereka sendiri. Fatalnya, fikiran yang seharusnya terang benderang oleh cahaya ilmu pengetahuan menjadi ruwet dan mbulet. Parahnya lagi ilmu pengetahuan kemudian menjadi rusak. Ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi sumber cahaya untuk mengangkat martabat manusia akan tetapi hanya menjadi alat hegemoni yang despotis.
Proses pelajaran yang diperoleh melalui akal sangat terikat dengan formalisasi dari suatu ajaran normatif yang bertujuan menghasilkan sesuatu yang egaliter: sama untuk semuanya. Begitulah nilai-nilai liberalisme dihembuskan oleh JIL dan sejenisnya. Tetapi, dalam kenyataan, jelaslah bahwa yang menurunkan ilmu (seorang guru sekolah, misalnya) kurang memberikan kemudahan bagi tercapainya kemajuan, baik bagi seorang murid yang pandai maupun bagi seorang murid yang kurang pandai. Bila dalam system kanuragan jawa atau ponpes selalu ada seorang asisten, dalam ajaran modern normatif, seorang guru harus menangani suatu kelas seorang diri.
Timbullah pertanyaan dalam diri saya: mengapa murid-murid yang pandai tidak langsung dimanfaatkan untuk membantu proses pengajaran seperti yang terjadi dalam ajaran tradisional? Pertama, teman-temannya yang kurang pandai akan sangat terbantu. Mereka pasti akan lebih mudah memahami penjelasan dari seseorang yang bentuk rasanya mirip miliknya sendiri. Kedua, murid yang pandai itu juga akan belajar dan meningkatkan pengalaman dari perannya sebagai perantara dalam proses transmisi ilmu. Kematangannya akan terbentuk secara lebih cepat dan dapat lebih berguna bagi masyarakatnya.
Sistem yang kaku itulah yang menghalangi tercapainya kualitas yang baik dalam hubungan antara guru dan murid, dan hubungan antar-murid. Hal itu membuat orang menjadi terbiasa untuk bertingkah laku secara individualis, untuk tidak peduli dengan lokalitas dan lingkungan hidupnya. Dia menolak kejadian-kejadian yang dianggap berada di luar tinjauan khusus/spesialisasinya, atau yang berada di luar ideologi masyarakat modern.
Dalam hal inilah, terlihat adanya pengaruh pengutamaan kegiatan ekonomi. Seseorang yang tidak dibayar, tidak atau kurang berhak untuk berpartisipasi dalam aksi (aksi mengajar atau aksi apapun juga). Dengan demikian, dapat dicermati bahwa anak-anak muda tidak dianggap bernilai sebagai warga masyarakat yang utuh karena belum produktif dalam sistem produksi. Karena mereka tidak dianggap bernilai, kematangan mereka—kalau ditinjau dari segi kriteria-kriteria tidak individualis— pasti akan terhambat bahkan bisa menjadi rusak. Bila tingkah laku/aksi kita menjadi terbatas (yaitu kalau nilai tertinggi terletak pada anggapan moral dan bukan pada anggapan rasa dalam tingkah laku), akan ditemukan banyak kesulitan dalam hal kemampuan untuk mengukur atau menilai keterbatasan bangsa kita sendiri dalam tujuan memperbaiki diri.
Hal ini dikarenakan kiblat transmisi pengetahuan kita selalu saja bangsa kaper, mereka tidak mau menoleh sedikitpun ke alam budaya kita sendiri yang kaya akan tradisi leluhur ini. Suatu sistem tranmisi pengetahuan yang menutupi unsur rasa dalam ajarannya, tidak akan terarah lagi dalam dimensi yang nyata. Sifat dari keempat penjuru dan pusatnya menjadi abstrak, karena orang tidak terikat lagi dengan lokalitasnya, dan dengan sistem pergaulan masyarakat melalui perasaan. Sistem pendidikan tidak pula terfokus pada masalah pengarahan kehidupan.
Apa yang paling bernilai dalam perjalanan duniawi, hanyalah unsur produktif dari sistem ekonomi. Berbagai bentuk hubungan dengan nenek moyang, keturunan, siklus-siklus kosmos, dimensi kedewaan dan dimensi ketuhanan pun menjadi terputus. Pengabdian terhadap negara tidak lagi melalui kualitas dari hubungan-hubungan dalam masyarakat. Kualitas ini harus dikorbankan.
T          ingkah laku seorang individu modern tidak lagi terarah melalui suatu sistem hubungan yang menguraikan secara jelas nilai­-nilai pokok dan organisasinya dalam masyarakat. Misalnya, dalam sistem representasi nilai Jawa, kita temukan dua nilai pokok dharma ksatria atau manunggaling kawula Gusti. Kedua nilai tersebut terletak pada cara berhubungan antar sesama. Nilai tersebut mengungkapkan suatu cara menjalin hubungan yang luhur dan menerangi sistem hubungan antarorang dan antartingkatan. Sistem tersebut merupakan suatu keseluruhan yang tidak lepas dari jagadgedhé. Hal tersebut berbeda dengan nilai-nilai Liberalisme yang menekankan pada suatu tujuan yang khayal. Ia tidak memberi pengarahan—selain pengarahan moral yang terpisah dari aksi—mengenai ‘bagaimana bentuk hubungan antarsesama itu dapat dihayati dan dirasakan secara homogen oleh semua warga negara?’
Sistem nilai liberalism tersebut adalah ideologi Barat yang telah menyengsarakan warganya sendiri. Dengan kata lain, sistem nilai masyarakat modern-liberal memang seimbang dengan sistem pendidikan yang berfokus pada tujuan. Sifat tujuan ini tidak holistis tetapi formal dan pragmatis untuk kepentingan bangsa kaper. Dengan demikian, sistem nilai serupa itu merugikan mutu pelaksanaan dan pembinaan hubungan antar warga masyarakatnya.
Akibat dari kekurang-jelasan dalam sistem modern mengenai bagaimana kondisi sebelum kehidupan duniawi dan sesudahnya, kita temukan tabu-tabu yang tidak diungkapkan secara eksplisit. Contohnya ada tabu mengenai hierarki di balik ‘individu modern’ egalitaris. Untuk mempertahankan kepentingan dari sifat individualistis dengan nilai egalitarisnya, semua hubungan hierarkis harus disembunyi­kan dengan memakai istilah-istilah seperti ‘stratifikasi sosial’ atau ‘saling membantu demi kesejahteraan umum’ (walaupun dalam kenyataan sering berubah menjadi perbudakan yang nyata, secara paksa ataupun paksa, dan kesejahteraan di luar batas dari golongan­-golongan atas tertentu, seperti yang terjadi di Barat).
Dalam anggapan modern, hierarki itu sama dengan ketidakadilan, paksaan, bahkan kekerasan. Melalui hukum modern yang berlaku, sifat-sifat tabu tersebut dapat dikurangi pada tingkat raga, kecuali dalam kegiatan ekonomi. Namun, secara simetris hirarki itu berkembang pada tingkat moral, tempat orang menjadi lebih bebas untuk melakukan ketidakadilan dan paksaan (secara moral). Akibatnya, dalam masyarakat tersebut, hubungan sehari-hari menjadi kompetitif dan keras. Dalam kenyataan, aplikasi dari nilai egaliter yang begitu dibanggakan oleh negara-negara liberal sebenarnya tidak mungkin bertahan secara utuh. Bila menginginkan kejelasan, ketepatan dan kejujuran, seharusnya mereka mengatakan:‘egaliterisme itu ada pada tingkat­-tingkat tertentu dan pada jenis-jenis hubungan tertentu’ saja. Dalam model masyarakat mereka, egaliterisme sebenarnya tidak ada, misalnya pada kegiatan ekonomi. Di samping itu, seseorang yang tidak produktif dalam bidang ekonomi (karena bidang ini menjadi menonjol), dianggap kurang bernilai secara keseluruhan.
Kegiatan-kegiatan dan kegotongroyongan pada tingkat lokal dalam sistem tradisional, mengandung pula unsur perlombaan. Tetapi, perlombaan itu terwujud dalam kaitan dengan akibat yang terjadi dalam melaksanakan suatu aksi. Bila timbul suatu pertentangan yang menonjol, pertentangan tersebut dapat meledak menjadi perkelahian atau perang. Namun, dalam kasus ini, kegiatan yang memiliki nuansa perlombaan sangat jelas kedudukannya. Rata-rata kegiatan tersebut tidak terletak pada kegiatan lain selain ‘perang’. Unsur tegang dalam pergaulan sehari-hari tidak menonjol seperti yang terdapat dalam sistem hubungan masyarakat individualis. Apalagi, akibat dari perang dalam suatu sistem tradisional, tidaklah mengancam lingkungan hidup, atau nyawa­nyawa makhluk hidup dalam skala besar­besaran.
Suatu sistem yang berlangsung demikian dalam caranya menghormati siklus-siklus kosmos, berjalan secara otokritis. Bila sistem itu mengancam keseimbangan alam semesta secara berlebihan, dia menciptakan suatu mekanisme yang mengurangi atau menghapuskan ancaman tersebut. Bentuk mekanismenya biasanya dalam wujud perang: perang antarsuku atau antarkerajaan. Karena keterikatannya yang bersifat hierarkis dan mementingkan keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos, sistem semacam itu berjalan sebagai suatu totalitas: masyarakat sebagai suatu keseluruhan terlibat dalam hubungannya dengan jagad gedhé.
Sistem dalam masyarakat tradisional berbeda dari sistem masyarakat moderen. Pada jaman pertengahan di Eropa—seperti yang telah digarisbawahi oleh Max Weber (1967)— dalam negara-negara yang didominasi oleh agama kristen (yang sudah dapat menaklukkan kepercayaan setempat), mulai muncul golongan-golongan korporasi. Golongan­-golongan korporasi itu berdiri sendiri di tengah masyarakat atas dasar kegiatan ekonomis tertentu dan atas dasar keterikatannya dengan ajaran moral normatif kristen. Di situ, kita dapat melihat awal mula tumbuhnya spesialisasi beragam kegiatan, yang sekaligus disertai dengan berkembangnya ajaran moral dan sektor ekonomi.
Hingga kini, spesialisasi dari kegiatan­-kegiatan yang ada berkembang terus, dan keterpisahannya dengan ajaran moral semakin mendalam. Kegiatan baru yang dapat menggantikan ajaran moral dari agama normatif adalah hukum. Namun, kelemahannya adalah bahwa hukum tidak ikut serta dalam aksi. Hukum lebih bersifat ancaman bagi mereka yang melanggar aturan. Golongan-golongan tersebut semakin tidak peduli dengan moralitas dan dalam konteks sekuler, referensinya menjadi hukum konvensional. Jika suatu penemuan baru belum diuraikan penggunaannya dalam hukum, orang tidak mau berusaha melakukan suatu intro speksi moral. Hal itu sering terlihat dalam hal jual beli/sesuatu yang bersifat komersial— pengusaha-pengusaha sering berusaha untuk menghindari larangan-larangan yang berlaku dengan melakukan tipu muslihat—yang sebenarnyanya membuktikan bahwa sistem hukum moral tidak berharga bagi mereka.

Tidak ada komentar: